Teks ini versi pertama dari artikel karya Dian Ara yang dimuat di CangkirKosong.com berjudul Merindukan Kemampuan yang Mulai Hilang. Boleh dibagikan dan digunakan untuk kepentingan pribadi atau pembelajaran, tentunya dengan memberikan kredit yang pantas untuk penulis.


Sejak dua hari lalu sekujur tangan saya sakit. Mulai dari pergelangan sampai ke buku-buku jari. Saya sudah tearpi ke Halodoc, dibilang kemungkinan diagnosis adalah arthralgia.

Gara-gara kondisi itu, saya kesulitan melakukan hal-hal yang selama ini terkesan remeh. Mencabut kabel rice cooker. Memencet dispenser sabun. Membuka pintu kulkas. Semuanya terpaksa dilakukan dengan tangan kiri. Atau minta bantuan suami.

Saya begini karena kurang menjaga kondisi sendi. Jarang olahraga. Postur duduk di meja kerja nggak ergonomis. Jadinya, tekanan pada otot-otot di tangan terlampau besar, dan saya lakukan tiap hari. Jadilah tangannya tersiksa lalu menyerah.

Di saat seperti inilah saya jadi sadar, kemampuan bisa hilang. Jadi harus dijaga.

Saya nggak pernah jaga kemampuan menulis. Sudah bertahun-tahun. Saya beralih ke game design, lalu hampir 2 tahun nggak pernah menulis lagi. Tadi, saya coba menulis pengalaman migrasi blog. Blog saya ini baru dipindahkan dari self-hosted WordPress.org ke WordPress.com, dan prosesnya—setidaknya bagi saya—ternyata sangat menarik dan mudah.

Setelah riset sedikit, saya tetiba nggak pede. Terasa seperti idenya murahan dan nggak penting banget.

Untungnya, saya punya pengalaman redaktur di koran nasional bertahun-tahun. Saya tahu nggak ada ide yang murahan selama eksekusinya oke. Dalam penulisan artikel, eksekusi oke mencakup angle alias sisi apa yang mau diangkat dari sebuah fenomena atau peristiwa, diksi (pilihan kata), dan lead (1 paragraf, yang paling penting dari semuanya, dan ini berlaku untuk tulisan apa pun, termasuk novel fiksi). Lalu, saya nggak tau apa istilahnya, plotting mungkin? Intinya adalah kerunutan. Dari awal sampai akhir harus runut. Lalu, jelas. Tidak ada kata-kata yang sia-sia. Terakhir, dan ini yang menjadikan sebuah tulisan unik, adalah apa yang menjadikannya menarik dibaca. Pembaca gampang bosan. Makanya lead harus menarik banget. Lebih dari itu, di setiap paragraf ketertarikan itu harus terjaga. Kalau semua itu diramu jadi satu, ide yang tadinya terkesan murahan akan jadi sangat berharga.

Sebetulnya, tiap orang bisa menulis dengan baik. Karena yang bisa menulis dengan baik adalah yang bisa bercerita lisan dengan baik. Dan tiap orang, asalkan topiknya menarik baginya, bisa bercerita lisan dengan baik. Coba saja. Kalau Anda tertarik sepeda, misalnya, bisa kok Anda ngoceh soal itu 2 jam penuh. Tuangkan itu ke dalam tulisan, lalu disunting, maka tulisan Anda bisa sangat menarik.

Makanya, yang selalu saya ajarkan pada penulis pemula yang minta tips dari saya: Menulislah seakan kamu sedang ngobrol dengan temanmu. Jangan diedit. Ketik secepat mungkin. Nanti setelah selesai kamu tumpahkan semuanya, barulah tulisanmu disunting. Saat itulah baru kamu mikir. Penyunting memang biasanya berpikir lebih keras dari penulis. Penulis yang berpengalaman bisa melakukan kedua peran itu, makanya terlihat seakan jago menulis. Sebetulnya dia jago menyunting saja.

Tulisan ini pun saya tulis tanpa henti. Nonstop. Terus saja saya ketik apa pun yang ada di kepala saya. Toh nanti bisa saya sunting.

Karena hanya inilah satu-satunya cara agar kemampuan menulis kembali. Saya harus menulis, dan konsistensinya perlu saya jaga. Walau kepala membisikkan, "Idemu jelek, gak usah ditulis," tetap harus saya tulis. Harus dilawan. Itu suara yang nggak valid. Itu hanya ketakutan, bukan fakta valid.

Semoga dengan begini, saya bisa kembali menulis seperti dulu. Dan tangan saya bisa kembali normal.