Beberapa waktu lalu, media sosial ramai oleh berita penemuan bunga Rafflesia hasseltii di Sumatra Barat oleh tim peneliti dari Inggris Raya dan Indonesia. Antusiasme publik pun bermunculan. Namun, perhatian kemudian bergeser pada unggahan Twitter dari akun resmi Universitas Oxford yang hanya menyoroti Chris Thorogood, peneliti asal Inggris Raya. Unggahan tersebut tidak menyebutkan peran Septian (Deki) Andriki, Joko Ridho Witono, dan Iswandi, peneliti serta botanis lapangan asal Indonesia yang juga tergabung dalam tim.

Gambar 1. Unggahan twitter dari akun Universitas Oxford.

Gambar 1. Unggahan twitter dari akun Universitas Oxford.

Akibat unggahan tersebut, publik menilai bahwa peran peneliti dan botanis lapangan asal Indonesia—yang tidak hanya berpartisipasi, tetapi juga mendedikasikan bertahun-tahun hidup mereka untuk ekspedisi ini—menjadi terpinggirkan. Namun, bukan hanya memicu berbagai komentar dan diskusi, twit tersebut juga dapat menjadi studi kasus di bidang komunikasi sains. Pasalnya, praktik komunikasi sains yang hanya menyoroti peran peneliti dari golongan tertentu berpotensi melanggengkan budaya diskriminatif di dunia akademik maupun di ruang publik.

Lebih jauh, tidak hanya institusi akademik, kita sebagai praktisi komunikasi sains yang bekerja di luar lingkup akademik pun tidak lepas dari risiko mereproduksi narasi yang bisa menindas kelompok lain. Kenapa bisa terjadi? Dan apa yang seharusnya dilakukan oleh komunikator sains untuk melawan narasi semacam ini?

Ketika Narasi Diskriminatif Memasuki Institusi Akademik dan Bidang Komunikasi Sains

Melalui sebuah paper yang membahas dampak ‘tidak terlihat’ dari komunikasi sains, Karlisa A. Callwood, Marissa Weiss, Rose Hendricks dan and Temis G. Taylor menjelaskan alasan di balik menyebarnya budaya rasisme di dunia sains, teknologi dan matematik (STEM). Terlebih, potensi keterlibatan praktisi dan pelatihan komunikasi sains dalam menyebarluaskan budaya tersebut.

Menurut paper tersebut, budaya rasisme hadir di dunia STEM karena institusi tersebut diatur oleh sistem yang menguntungkan orang-orang kulit putih. Sistem ini disebut sebagai Budaya Supremasi Kulit Putih, terminologi yang pertama kali dicetuskan oleh Jones dan Okun (2001). Di Amerika Serikat sendiri, 67% pekerja kulit putih mendominasi sektor STEM. Di sektor akademik pun serupa, di mana laki-laki dan perempuan kulit putih masih mendominasi. Hal yang sama juga terjadi di Inggris Raya di mana 65% laki-laki kulith putih yang mendominasi pasar kerja STEM.

Callwood dkk. berargumen bahwa rasisme di dunia STEM dapat muncul ketika peneliti kulit putih mendominasi ruang-ruang kepemimpinan di institusi akademik. Dalam situasi tersebut, kelompok dominan yang mengambil keputusan-keputusan penting kerap abai terhadap praktik-praktik yang mengarah pada tindakan rasisme, karena dampak dari bias yang mereka ciptakan tidak mereka rasakan secara langsung.

Sebagai contoh, menurut Hoppe dkk. (2019), panel penilai hibah yang mayoritas anggotanya berkulit putih lebih sering mengarahkan pendanaan ke topik-topik yang diminati oleh pemohon kulit putih. Akibatnya, proposal hibah NIH (lembaga penelitian medis di Amerika Serikat) yang dipimpin oleh peneliti utama (PI) kulit putih, memiliki peluang didanai 1,7 kali lebih besar dibandingkan proposal yang dipimpin oleh PI kulit hitam.

Bila kasus-kasus tersebut terjadi di konteks akademik, bagaimana komunikator sains bisa terlibat dalam menyebarkan narasi yang diskriminatif?

Sebagai bidang yang menjembatani dunia akademik dengan publik, komunikasi sains memiliki tanggung jawab atas bagaimana seharusnya sains disampaikan ke masyarakat umum. Sayangnya, menurut Callwood dkk., komunikator sains bisa ikut melanggengkan budaya Supremasi Kulit Putih dengan penyebarluasan narasi yang menggambarkan sains bersifat netral dan tidak memihak.

Padahal, jika meminjam model Nature of Science dari Erduran dan Dagher (2014), kita dapat melihat bahwa sains tidak hanya mencakup pengetahuan (knowledge) dan metode (methods and methodological rules), tetapi juga memiliki dimensi sosial. Dimensi ini meliputi institusi penyelenggara sains (social organizational interactions), struktur kekuasaan akademik (political power structures), serta sistem keuangan yang menopangnya (financial systems).

Gambar 2. Gambaran sains yang menyeluruh (Nature of Science) dari Erduran dan Dagher, (2016).

Gambar 2. Gambaran sains yang menyeluruh (Nature of Science) dari Erduran dan Dagher, (2016).

Dengan menyebarkan narasi sains yang objektif, netral dan tidak memihak, komunikator sains berisiko mengabaikan dimensi sosial dalam dunia akademik, di mana relasi kuasa masih kerap terjadi oleh mereka yang memiliki wewenang. Akibatnya, praktik-praktik perundungan, seksisme, hingga kekerasan seksual dapat terus terjadi, bahkan di institusi akademik terkemuka di dunia, mulai dari Universitas Dartmouth di Amerika Serikat, Institut Max Planck di Jerman, hingga Universitas Gadjah Mada di Indonesia.

Keterlibatan institusi akademik di Israel dalam okupasi militer hingga genosida di Palestina juga menunjukkan, sains yang dikendarai oleh institusi akademik, tidak selalu bersifat netral. Bahkan, dapat mendukung pelanggaran hak asasi manusia. Dengan turut menggambarkan dimensi sosial dari sains, kita dapat memahami bahwa institusi akademik yang menjalankan sains bisa berperilaku tidak netral dan memiliki keberpihakan.

Bagaimana Komunikator Sains Bisa Melawan

Menjadi komunikator sains bukan pekerjaan mudah. Di satu sisi, kita berupaya mendukung publik agar lebih memahami dan mengapresiasi sains. Tapi di sisi lain, ada rambu-rambu yang perlu kita kenali agar komuniktor sains tidak terjebak dalam memberikan narasi dan melakukan tindakan yang diskriminatif. Lantas, praktik dan pelatihan komunikasi sains seperti apa yang bisa kita lakukan agar tidak turut melanggengkan narasi tersebut?

Masih mengutip paper karya Karlisa A. Callwood, Marissa Weiss, Rose Hendricks dan and Temis G. Taylor, terdapat empat pendekatan yang praktisi dan pemberi pelatihan komunikasi sains bisa lakukan untuk melawan penyebaran narasi yang berlandaskan Budaya Supremasi Kulit Putih. Tentu empat pendekatan ini bukan resep universal. Namun, dalam hal ini, kita bisa menggunakan empat pendekatan tersebut sebagai landasan dalam mempraktikkan komunikasi sains yang tidak hanya menghindari perilaku rasis, tetapi juga menindas kepercayaan, gender, disabilitas dan identitas kelompok termarjinalkan lain. Empat pendekatan tersebut meliputi: Pemeriksaan, Pengakuan, dan Akuntabilitas yang Autentik; Representasi; Praktik Responsif Budaya; dan Keikutsertaan.

Pada pendekatan pertama, Pemeriksaan, Pengakuan, dan Akuntabilitas yang Autentik. Melalui pendekatan ini, komunikator sains dapat menelaah secara kritis bagaimana praktisi, pemberi pelatihan, atau institusi komunikasi sains bisa—atau telah—berperan dalam sistem yang melakukan atau melanggengkan tindakan yang diskriminatif dan menindas kelompok lain.

Salah satu cara untuk menelaah secara kritis bagaimana komunikator sains bisa terlibat dalam tindakan yang diskriminatif, kita dapat menggunakan Model Roda Kekuasaan/Keistimewaan yang dikembangkan oleh Sylvia Duckworth. Model ini memberikan gambaran akan privilese yang seseorang bisa miliki, baik secara pribadi maupun institusional, serta bagaimana hak istimewa tersebut berkaitan dengan kekuatan yang dimiliki dibandingkan dengan kelompok lain yang lebih termarjinalkan.